At-Taqwa News – Bagi Rektor IAI At-Taqwa Bondowoso, Dr. Suheri, M.Pd.I., istilah kampus santri bukan sekadar hiasan nama. Sejak awal, ia menegaskan bahwa At-Taqwa dibangun di atas tradisi pesantren yang kuat. “IAI At-Taqwa ini kampus yang berakar pada kultur religius. Atmosfernya memang pesantren. Itu keunggulan yang membedakan kami,” ujar Suheri saat ditemui di kampus, Kamis, 21 Agustus 2025.
Menurut Dr. Suheri, peran perguruan tinggi Islam tidak cukup hanya menyiapkan mahasiswa berprestasi secara akademik. Lebih dari itu, kata dia, kampus juga wajib membentuk karakter, kepemimpinan, dan kepedulian sosial mahasiswa. “Mahasiswa kita dibiasakan aktif. Ada kegiatan kemahasiswaan, unit kegiatan mahasiswa, sampai pengabdian masyarakat. Semua diarahkan untuk menumbuhkan kepemimpinan,” jelasnya.
Dr. Suheri percaya, keunggulan IAI At-Taqwa ada pada kemampuannya menggabungkan dua dunia: intelektual kampus dan spiritualitas pesantren. Ia menyebut, kombinasi itu adalah jawaban atas kebutuhan zaman yang kian kompleks. “Kami tidak hanya mencetak sarjana, tapi generasi yang religius, berintegritas, dan siap mengabdi,” katanya.
Nada yang sama datang dari Ketua PMII Rayon Averroes, Rifky Gimnastiar. Hanya saja, ia berbicara dari sisi mahasiswa. Baginya, kampus santri bukan label yang ditempel di brosur, melainkan identitas yang harus dihidupi setiap hari. “Santri itu bukan status. Kalau sekadar nama, kampus santri tidak punya arti,” kata Rifky Gimnastiar saat ditanyai sebagai salah satu akademisi yang juga aktifis.
Menurut Rifky, seorang santri identik dengan kemandirian, kedisiplinan, dan kesetiaan pada tradisi keilmuan. Tanpa itu, mahasiswa hanya akan larut dalam euforia kampus dan kehilangan arah. “Kampus santri harus melahirkan manusia yang matang secara intelektual sekaligus moral,” ujarnya.
Ia menegaskan, organisasi mahasiswa seperti PMII punya peran vital untuk mengawal spirit itu. Rifky menolak anggapan bahwa organisasi sekadar tempat seremonial. “PMII adalah ruang kaderisasi. Di sini kita ditempa, belajar berpikir kritis, sekaligus merawat identitas santri,” ucapnya.
Rifky juga mengingatkan calon mahasiswa baru agar tidak pasif. Menurutnya, nilai-nilai pesantren hanya akan hidup bila mahasiswa berani aktif dalam organisasi dan kegiatan sosial. “Kampus santri akan kehilangan makna jika mahasiswanya diam. Spirit itu harus nyata dalam tindakan,” tegasnya.
Baik Dr. Suheri, M.Pd.I sebagai Rekor dan Rifky Gimnastiar sebagai salah satu mahasiswanya sama-sama mengingatkan bahwa tantangan era digital jauh lebih besar dibanding masa lalu. Keduanya sepakat, mahasiswa yang hanya mengandalkan kecerdasan akademik tanpa karakter akan rapuh menghadapi arus zaman.
Dr. Suheri menekankan tanggung jawab institusi dalam mendampingi mahasiswa. Sementara Rifky menekankan peran mahasiswa untuk bergerak. Dua kutub itu, meski berbeda, saling melengkapi.
“Mahasiswa harus berani menghidupi nilai-nilai pesantren. Itulah semangat santri,” ujar Dr. Suheri.
“Dan kampus harus terus menjadi ruang dalam semangat nilai-nilai ke-santri-an ” sambung Rifky Gimnastiar.
Keduanya seolah bertemu dalam satu pesan: kampus santri bukanlah label. Ia adalah jalan perjuangan, tradisi yang dijaga sekaligus keterbukaan pada perubahan.