Oleh: Abdul Wasik, M.HI
Gelar wisuda IAI At taqwa Bondowoso telah selesai dilaksanakan, 28 Desember 2024 di gedung mewah At Taqwa Islamic Ceenter (AIC) dengan jumlah 232 wisudawan dan wisudawati resmi menjadi seorang sarjana. Walaupun isak tangis kebahagian memenuhi gedung Di Taqwa Islamic Center (AIC). Ditambah lagi dengan berbagai macam yang disampaikan rektor dan ketua yayasan membuat para sarjana semakin termotivasi untuk menjalani hidup bermasyarakat sebagai aplikasi ilmu yang diperolehnya selama 4 tahun dibangku kuliah dikampus santri, dawuhnya “ Abah ” panggilan untuk ketua Yayasan At Taqwa Bondowoso KH. Dr. Imam Barmawi Burhan : Ilmu Yang Amaliyah Dan Amal Yang Ilmiah .
Namun dibalik kebahagian mereka, ada hal yang tersirat bagi penulis dengan orasi Ilmiah yang disampaikan oleh Prof. Akh. Muzakiki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D. yang biasa disapa Prof. Zaki Rektor Universitas Islam negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya. Satu pidato dari beliau ” Jadilah Sarjana Yang Bahagia Sepanjang Masa “. Ungkapan ini memiliki makna motivasional dan filosofis. Secara umum, kalimat ini bisa diartikan sebagai ajakan kepada seorang sarjana (atau siapa pun yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi) untuk tidak hanya fokus pada pencapaian akademik atau materi, tetapi juga menjaga kebahagiaan dan keseimbangan dalam hidup sepanjang waktu dan selalu beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang ada.
Beberapa poin makna dari ungkapan ini:
Pertama, Keseimbangan Hidup : Setelah menjadi sarjana, hidup sering kali menghadirkan tantangan seperti tekanan pekerjaan, tanggung jawab sosial, atau keinginan mencapai kesuksesan. Ungkapan ini mengingatkan kita untuk tetap menjaga kebahagiaan dan tidak terlalu terbebani oleh tuntutan kehidupan. Meskipun pada kenyataannya, menjadi seorang sarjana ditengah-tengah masyarakat adalah tanggung jawab penuh. Benar kata pepatah kaidah fikih “al Ghunm bi Al-Ghurm”. Kaidah Al-Ghunm Bi Al-Ghurm adalah prinsip dalam hukum Islam yang menekankan pada konsep keadilan dan Pembagian risiko, ada manfaat ada risiko. Para sarjana juga begitu, ketika ia telah resmi dinobatkan sebagai sarjana maka ia berhak melakukan apa saja yang sesuai dengan kapasitasnya sebagai seorang sarjana, akan tetapi dibalik itu ia memiliki tanggung jawab yang besar dipundaknya baik dari sisi keilmuwan maupun kemasyarakatan. Bagi mereka yang sungguh-sungguh dalam mengeyam pendidikan semasa menjadi pelajar aktif dalam kegiatan akademik, penelitian dan pengembangan ilmu dan bahkan selalu istiqomah melakukan pengabdian masyarakat, maka kapanpun dan dimanapun ia berada insyallah siap mengamalkan ilmunya, tapi bagi seseorang yang hanya mengejar gelar dan gelar semata sementara ilmu dan pengalaman semasa ia menjadi mahasiswa sangat minus sekali, maka jangan salahkan kalau ia akan menjadi gelandangan dan menambah antrian panjang kemiskinan para sarjana.
Kedua, mencapai Kebahagiaan dunia dan akherat: Pendidikan tinggi seharusnya tidak hanya memberikan kecerdasan intelektual, tetapi juga kemampuan untuk menemukan kebahagiaan dari sisi spritual. Senada dengan dawuh Prof Zaki ini, dikampus santri IAI At Taqwa Bondowoso mahasiswa telah mengajar dan menanamkan kultur-kultur islami ala pesantren, dan itu sudah menjadi icon tersendiri bagi kampus santri, minimal mahasiswa ketika sudah menjadi sarjana telah memiliki bekal untuk menempuh hidup baru dimasyarakat yang bukan hanya mapan dari sisi intelektual tapi mereka dipersiapkan untuk matang dari sisi spritual. Sebagai landasannya adalah Hadits Nabi Muhammad SAW “Barang siapa yang bertambah ilmunya, namun tidak menambah kezuhudannya terhadap dunia maka ia tidak akan bertambah kecuali bertambah jauh kepada Allah SWT ”. Hal ini dijelaskan juga dalam motto yayasan at taqwa yaitu: Bahagia Dunia Dan Bahagia Di Akherat .
Ketiga, Makna Kesuksesan yang Luas : Kesuksesan bukan hanya tentang gelar, pekerjaan, atau materi, tetapi juga tentang kebahagiaan dan kepuasan batin yang menyertainya. Makna kesuksesan memang sangat luas dan sering kali bersifat subjektif. Kesuksesan tidak melulu diukur dari pencapaian eksternal seperti gelar akademik, jabatan pekerjaan, atau kekayaan materi. Hal-hal tersebut bisa menjadi salah satu elemen kesuksesan, tetapi bukan satu-satunya indikator. Kesuksesan sejatinya adalah Rasa bahagia yang tulus dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik dalam hubungan personal maupun aktivitas yang dilakukan, Perasaan damai dan puas dengan diri sendiri, tanpa harus terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain, Memberikan dampak baik kepada lingkungan, komunitas, atau bahkan dunia, sehingga hidup terasa lebih bermakna, Mampu menjaga keseimbangan antara pekerjaan, keluarga, waktu pribadi, dan kesehatan serta Terus belajar, berkembang, dan menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Dengan perspektif ini, kesuksesan menjadi lebih inklusif dan tidak terbatas pada parameter konvensional. Setiap orang bisa mendefinisikan kesuksesan mereka sendiri berdasarkan nilai, tujuan, dan kebahagiaan yang ingin mereka capai.
Keempat, Pengingat untuk Menikmati Proses Hidup : Jangan hanya fokus pada pencapaian tujuan jangka pendek. Jadilah orang yang menikmati setiap momen kehidupan dengan rasa syukur dan kegembiraan.
Itulah makna pesan singkat sang orator ini yang tidak lain dan bukan bukan tokoh muda NU demi mengajak para sarjana untuk terus mengutamakan kebahagiaan, bahkan setelah menyelesaikan salah satu fase penting dalam hidup, yaitu pendidikan. Karena kebahagiaan adalah modal utama untuk menjalani kehidupan yang bermakna baik di dunia terlebih untuk akheratnya.