Oleh :
Dr. Suheri, M.Pd.I
Rektor IAI At Taqwa Bondowoso
Gendang Pesta demokrasi telah kita lalui bersama. 27 November 2024 merupakan momentum sakral bagi bangsa Indonesia karena untuk pertama kalinya momentum pilkada serentak dihelat. Sebagai bagian bangsa Indonesia tentu kita tidak mau menyia-nyiakan momentum 5 tahunan ini. Apalagi pasangan yang maju memiliki kesamaan Visi Misi, ideologi dengan kita.
Tulisan ini tentu, tidak akan membahas siapa yang menang atau sebaliknya. Atau menganalisa faktor penyebab kekalahan atau strategi jitu pemenangan paslon tertentu. Tulisan ini akan menyajikan sisi lain dari panggung perhelatan akbar tersebut. Beberapa bulan ini kita disuguhi oleh berbagai pemandangan dari calon-calon kepala daerah yang berlaga, baik ditingkat daerah hingga Provinsi. Tidak ketinggalan pula poster-poster calon orang nomor wahid yang diusung.
Uniknya, pasca pencoblosan yang menurut kita sudah selesai, rupanya masih menyisakan dinamika yang tensinya tak kalah panas bila dibandingkan detik-detik laga pencoblosan. Masing-masing kandidat merasa menang sekalipun situasinya tidak jauh berbeda, ada yang merasa dirugikan, didzalimi, dicurangi bahkan ada pula yang merasa sudah memiliki tiket untuk siap dilantik. Meski Palu KPU masih belum diangkat, karena proses rekapitulasi masih berjalan. Akibatnya, publik kembali dibuat bingung siapa sebenarnya yang berada di puncak, siapa kompetitor sejati?.
Oleh karena itu, penting untuk menganalisis prilaku panggung “Dramaturgi” tersebut. Teori ini pertama kali diperkanalkan oleh Erving Goffman dalam bukunya “The Presentational of Self in everyday Life”. Menurutnya prilaku yang umum ditampilkan oleh individu merupakan perilaku yang diatur oleh kehidupan sosial . Prilaku seseorang dalam interaksi sosial cenderung melakukan permainan informasi, tujuannya tentu agar terkesan baik di depan orang lain. Apalagi prilaku non verbal seperti foto profil yang dipajang dimana-mana, memerankan sebagai sosok pemenang, dan sudah bersikap jumawa. Tentunya potret tersebut belum mewakili kebenaran informasi sebenarnya, yang merepresentasikan prilaku, sikap dan karakter asli dalam kesehariannya.
Fenomena Dramaturgi ini banyak dimainkan oleh para politisi yang berlaga di panggung demokrasi tahun ini. Tak bisa dipungkiri diberbagai sudut pelosok tanah air terpampang foto profil, cuplikan video aktifitas pasangan calon, jargon dan misi mereka untuk menarik simpati dari calon pemilihnya baik kalangan emak-emak maupun generasi milenial. Dramaturgi ini merupakan upaya untuk membangun persepsi positif di mata masyarakat, atau membangun opini sebagai pemenang sah dalam sebuah kompetisi. Sehingga masyarakat dijauhkan dari penilaian negatif dari calonnya. Ilmu komunikasi non verbal ini digandrungi oleh para politisi untuk memengaruhi pemikiran kaum milenial, mereka seringkali memainkan pentas dramaturgi agar peluang suara bisa terdongkrak untuk tujuan tertentu. Jangankan para politisi, Dramaturgi ini juga seringkali kita lakukan dalam memposting potongan video, foto profil di media sosial dengan lebih memilih foto terbaik untuk di jadikan foto profil (DP), atau kata-kata arif dan bijaksana yang justru sebenarnya bertolak belakang dengan kenyataannya. Strategi ini disisi lain penting untuk menyembunyikan aib kita di depan publik, namun di sisi lain juga mengandung nilai “pembodohan” masyarakat yang akan memilih wakilnya di panggung terdepan demokrasi sebagai sosok calon kepala daerah terhormat. Karena masyarakat disuguhi untuk memilih “kucing dalam karung” meski diantaranya juga banyak yang berkualitas.
Oleh karena itu, memahami kondisi politik tidak cukup hanya melihat “casing” dan fenemona yang muncul dipermukaan. Apalagi hanya mengekor rangkaian kata-kata tokoh politik. Publik harus berinisiasi untuk membentengi diri agar tidak terjebak dengan “rayuan” manis yang ada. Tentu, penyadaran diri agar tidak mudah terpikat dengan janji-janji semu semata. Jika para pemimpin, politisi, dan para aktivis sibuk bermain dalam pentas dramaturginya, maka masyarakat harus sibuk juga untuk berpikir secara proaktif ataupun mengkritisi dramaturgi yang seringkali dimainkan oleh orang-orang yang selalu menyebarkan amunisi “dramaturgi” yang seringkali mengecoh penilaian publik. Pasca Pemilu ini publik tentu masih disuguhkan panggung Dramaturgi siapa yang benar-benar tulus dan Ikhlas berjuang untuk kepentingan rakyat dengan kelapangan jiwa negarawan sejati. Atau justru sebaliknya ruang publik sebagai panggung Dramaturgi justru dimainkan bukan oleh calon kepala daerah baik yang terpilih atau sebaliknya. Namun, justru publik yang menjadi aktor utama dengan menganggap ketepatan pilihannya pada calon kepala daerah dengan suara mayoritas, atau publik justru sebagai aktor yang mendramatisir suasana untuk memframing hasil suara atas calon pilihannya baik pihak yang mengkalim menang maupun pihak kalah yang merasa dirugikan.
Sejatinya, panggung dramaturgi ini tidak berlaku disisi Allah, karena mau kita benar-benar berbuat baik, pura-pura baik atau betul-betul buruk dalam kacamata Allah tidak ada yang tersembunyi meski sekecil dzarrah atau atom. Dramaturgi ini mungkin berlaku di hadapan manusia karena kecenderungan manusia membangun persepsi dengan nalar logis dan empiris. Tetapi bagi Allah semua “sinetron” kehidupan ini tidak ada yang tersembunyi. Semua terang benderang, transparan, vulgar tanpa terkecuali.
Jika kita orang memiliki derajat kemuliaan disisi Allah sekeras apapun orang lain menenggelamkan kita tentu tetap akan bernilai mahal, ibarat Emas meskin ada ditenggelamkan di tempat hina, kotor dan dikubur tetap mahal dan berharga. Demikian pula calon pimpinan yang sudah siap mengabdi untuk rakyat, Emas tetaplah emas. Sebaliknya, bila nilai kita memang sebesar seribu perak meski dijunjung setinggi-tinggi dengan pesawat sekalipun, nilai dan harga kita tetap tidak akan berubah. Maka penting bagi kita untuk menjada derajat kemuliaan kita sebagai hamba Allah yang tugasnya mengabdi pada zat yang mulia. Semoga semua calon yang selama ini memainkan dramaturgi kedepannya kian positif seperti lakon yang telah dimainkan baik dalam posisi menang ataupun sebaliknya. Semoga kita juga dipilih pemimpin-pemimpin yang tidak hanya terampil memainkan dramaturgi di panggung dunia tetapi benar-benar memerankan diri sebagai ‘abdullah (hamba Allah) sejati di dunia dan akhirat. Amin…