
Dr. Suheri, M.Pd.I Rektor IAI At Bondowoso
Penghormatan kepada Rasulullah hukumnya bersifat qoth’i (pasti). mengapa demikian? Karena hal ini bagian wujud ekspresi kebahagiaan kita (fal yafrohu) atas fadal yang Allah karuniakan kepada kita. Apalagi ekspresi kebahagiaan diimplementasi dalam bentuk membacakan shalawat kepada Rasulullah saw, Karena Al Qur’an dengan sangat tegas menyerukan pada orang-orang yang di dalam hatinya ada secercah iman untuk memintakan rahmat (bersholawat) kepada Rasulullah. Oleh karena itu bersholawat merupakan suatu perintah bagi umatnya karena malaikat dan Allah pun memberikan teladan dengan bersholawat untuk memuliakan Rasulullah. Artinya menjadi kontraproduktif bila sholawatan dalam bentuk menghormati Rasulullah dinilai berlebihan apalagi pemborosan. Sebab istilah memuliakan tersebut akan menjadi kata kunci sebagai bentuk memuliakan kelahiran Rasulullah SAW. Seseorang bisa menghabiskan ratusan juta dalam merayakan kelahiran orang yang dicintainya. Berapa banyak seorang istri yang mendapatkan hadiah kendaraan mewah, tour ke luar negeri, perhiasan mahal, termasuk kita tidak pernah “hitung-hitungan” saat merayakan ulang tahun anak-anak kita. Tentu sebaliknya ketika merayakan kelahiran Rasul yang kita cintai tidaklah berlebihan bila dirayakan dalam sebuah seremoni dan perayaan yang juga menghadiahkan hartanya untuk memuliakan kelahiran nabi yang dicintainya.
Jadi, dalam memuliakan Rasulullah sejarah tidak pernah mencatat umatnya yang terlalu berlebihan dalam hal ini menjadi orang sesat. Justru yang tersesat adalah kelompok yang kemudian mendegradasi posisi seseorang melebihi Rasulullah. Karena posisi Rasulullah sebagai wasilah (media) yang menjadi mata rantai penyambung antara makhluk dengan khalik untuk mengenalkan sang Pencipta kepada hamba-hambanya. Sehingga posisi Rasulullah tidak bisa disamakan dengan posisi Nabi Isa ‘alaihissalam dalam agama Nasrani (Tuhan Bapak) atau nabi Uzair bagi kaumnya dianggap putra Allah. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena Rasulullah memang senantiasa menempatkan diri bagi umatnya sebagai Abdullah (hamba Allah) dan deklarasi beliau sebagai Basyar (manusia biasa) dengan tugas menyampaikan risalah agar umatnya bisa mencapai ma’rifatullah. Posisi sebagai media yang sangat mulia ini diberikan oleh Allah. Sehingga sering diungkapkan beliau sebagai khoirul anbiya wal mursalin (sebaik-baiknya nabi dan utusan), khoirul anam (sebaik-baiknya manusia), khataman nabiyyin (penutup nabi) dan seterusnya. Posisi beliau yang sangat mulia ini tentunya memang harus kita apresiasi mulia oleh umatnya, karena Allah sendiri yang memuliakan beliau. Kalimat ini jelas menegaskan posisi Rasulullah saw “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kata fattabi’uni di sini memang merujuk pada diri nabi sebagai mutakallim (orang yang berbicara) yang menerima wahyu dari Allah. Orang beriman yang mengaku sebagai Pecinta Sejati maka ditunjukkan dengan senantiasa mengikuti sunnah Rasulullah, untuk mengikuti Rasulullah (sunnah nabi) tentunya harus diawali dengan jalan mencintai, mengagungkan beliau bahkan mengidolakan beliau dalam kehidupan. Jadi, konteks mengikuti seraya menghormati, memuliakan atau mengidolakan nabi ini landasannya jelas yakni Al Qur’an yang kebenarannya sangat otentik. Siapapun Pecinta sejati tentu selalu mengingat sosok yang dicintai, merindukan untuk datang ke kota kelahiran yang dicintai (Mekah) baik untuk Haji maupun umrah, senantiasa memikirkan dan membincangkan sosok yang dicintainya.
Kemudian, permasalahannya sekarang. Bagaimana bentuk-bentuk menghormati Rasulullah saw? pada aspek muamalah inilah interpretasi cinta diekspresikan dengan penuh variatif dan inovasi. Sehingga unsur-unsur budaya akan masuk dalam mewujudkan rasa cinta ini. Tentunya bentuk-bentuk penghormatan (Maulid Rasul) tiap-tiap daerah sangat kompleks. Misalnya, contoh sederhana penghormatan orang timur tengah diwujudkan dengan memegang jenggot, orang jepang dengan menyuguhkan teh, atau orang Madura penghormatannya dengan menyuguhi makanan pada tamunya, meskipun sudah mengetahui tamunya sudah makan. Hal-hal demikian ini merupakan nilai-nilai budaya lokal masyarakat yang kemudian apa saja bentuk tradisi masyarakat dikolaborasikan dalam tradisi memuliakan kelahiran Rasulullah. Meskipun sejarah menjelaskan bahwa kemeriahan maulid sering dilakukan oleh Shalahuddin al Ayyubi dan Malik Al Mudzoffar Abu sa’id Al-Kaukabri hingga populer seperti saat ini. Tradisi dari beliau ini dengan memberikan suguhan makanan dalam setiap perayaan maulid Nabi sebenarnya juga tidak melanggar. Sebab tradisi suguhan makanan ini merupakan shadaqah yang disajikan saat memiliki hajat (red : acara). Referensi shodaqoh ini pun juga berdasarkan ayat konteks berikut “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.Shodaqoh ini bermanfaat bagi kita untuk menjauhkan memudahkan kesulitan, masalah, diri dari bala’, musibah, bahaya bahkan menyucikan harta kita.
Standar kebenaran yang dipakai disini tentunya berdasar sunnah nabi baik qauliyah (sabda), fi’li (perilaku) dan taqririyah (ketetapan) nabi. Bentuk perayaan yang terjadi saat ini tidak ditemukan dalam sabda Nabi, demikian juga nabi tidak merayakan seperti saat ini kecuali beliau hanya selalu berpuasa setiap hari kelahiran beliau, karena beliau memang menyukai puasa dan tidak semua orang menyukai puasa khususnya saat kelahiran beliau.
Pelaksanaan maulid nabi yang terjadi dalam keyakinan penulis masuk dalam taqririyah nabi, syarat dari taqririyah yang biasa dilakukan oleh Rasulullah pada sahabat harus memenuhi dua syarat. Pertama, Husnun Niat (baik niatnya). Mari kita lihat fakta dilapangan, berkumpul beramai-ramai untuk menghadiri kelahiran maulid nabi sudah sangat jelas motivasinya baik, yaitu untuk mengenang dan merayakan kelahiran nabi. Kedua, Husnun Nidhom (baik pelaksanaannya), saat ini kita lihat susunan acara Maulid nabi yang berkembang di masyarakat. Ada pembukaan dengan Fatihah, lantunan ayat suci al Qur’an, sholawat julus/sholawat qiyam, sambutan-sambutan, mau’izhah hasanah (nasehat baik), dan terakhir dengan do’a yang ditutup dengan shodaqoh. menurut pandangan penulis jelas tidak ada yang buruk dengan pelaksanaannya. Dari dua aspek seperti ini mana yang kemudian kira-kira “tidak ditaqrir” oleh Nabi Muhammad SAW ketika niatnya baik dan pelaksanaannya pun baik. Penulis sangat yakin Rasulullah mentaqrir hal itu.
Tentu, penulis juga tidak menutup mata terkadang perayaan Maulid nabi di masyarakat kegiatannya tidak mengandung pesan moral untuk menambah kecintaan, motivasi dan bentuk ekspresi memuliakan kelahiran Rasulullah saw. Misalnya alangkah ironis bila peringatan maulid Nabi dicampuri dengan gemuruh sound system yang berlebihan, konser yang tidak Islami, mengarung sajian ke laut maupun ritual yang tidak mengajak untuk semakin cinta kepada Rasulullah saw. Bagi pandangan penulis hal semacam ini jelas tidak baik bahkan bisa jadi benar-benar bid’ah. Sebab penulis yakin niatnya bukan memperingati nabi, mungkin demi popularitas yang bersangkutan atau lainnya. Aspek yang lain tentu kita perlu mengkaji dengan pemikiran yang mendalam. Artinya jangan sampai kita menyalahkan dengan membabi buta karena “keawaman” saudara-saudara kita karena masih ada niat yang baik yakni memuliakan Nabi disebabkan kesalahannya hanya terletak dalam pelaksanaan teknis. Sebab, hakekatnya hal tersebut tidak akan mengurangi kebaikan niat pelakunya. Penulis kira cukup diberi nasihat dan pengajaran intelektual dengan mauidzah agar perayan maulid nabi tidak ternodai dengan hal yang tidak baik. Artinya bukan malah melarang niat yang baik masyarakat banyak untuk memuliakan kelahiran nabi karena disebabkan oleh beberapa kesalahan dalam hal teknis.
Baca juga artikel menarik lainnya :
Wujudkan Mahasiswa Unggul yang memiliki Intelektualitas, Spiritualitas dan integritas